Langit
Denpasar merekah pagi ini, kilau matahari menerobos menyeruak ruang
ruang kosong di setiap sudut kamarku, sinarnya hadir menghangatkan.
Entah mengapa, seraut wajah bapak, sekelebat hadir…. mengingatkan akan
bapak yang kuyakin tidak pernah meninggalkanku disetiap detak nadi
kehidupan, meski sekarang aku berada jauh dari Bapak. Bapak, bagaimana
kabar Bapak hari ini? Apa yang sedang bapak lakukan saat ini? Masihkah
membaca Al’quran, ditemani kacamata karena pandangan mulai samar? Atau
telah mulai menyiram bunga bunga di halaman kecil rumah kita? Atau sudah
disibukkan dengan kelucuan cucu-cucu bapak, yang tidak jarang menguras
tenaga dan kesabaran bapak dengan tingkah polah mereka? Namun satu hal
yang pasti, aku selalu berharap semoga ALLAH SWT senantiasa menjaga
bapak.
Bapak,
Gurat senyum tulusmu terbayang di
wajahku. Ah, bagaimana mungkin aku melupakan raut wajah itu. Raut wajah
yang senantiasa tersenyum, meski berjuta gundah belum juga lepas dari
hidupnya, meski beban setinggi gunung harus dipanggul di pundaknya.
Ketegaran yang tak kenal putus asa, demi istri dan 5 orang anak
perempuan yang diamanahkan Allah kepadanya. Bapak, terima kasih telah
mengajariku untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan
senantiasa bersyukur atas keadaan apapun yang Allah berikan kepada kita
saat ini.
Bapak,
Tak akan ku lupa senyum itu, iya
senyum itu. Senyum bahagia saat bapak berhasil menyulap tempat tidur
kami menjadi panggung kecil untuk bapak mementaskan berbagai macam
cerita rakyat. Namun yang paling aku ingat adalah saat bapak mengisahkan
berbagai kisah pewayangan penuh hikmah. Tak jarang, kami anak-anak
bapak tertawa riuh rendah saat tiba-tiba suara dan gaya bicara bapak
berubah karena menjelma menjadi berbagai tokoh pewayangan. Begitu indah
kenangan masa kecil itu. Bapak, terima kasih karena melalui semua ini
membuat kami memahami, indahnya arti kebersamaan.
Bapak,
Pun masih jelas dalam ingatanku, saat guratan sedih menghalangi indah
raut wajahmu, saat aku menangis dan mengatakan bahwa bapak pilih kasih.
Ketika bapak membelikan sepatu baru buat mbak yang mendapat tugas untuk
mengibarkan bendera saat upacara hari kemerdekaan. Aku marah kepada
bapak, aku menangis, bungkam tak mau menyapa bapak, aku tak peduli
ketika bapak menjelaskan alasannya. Belakangan aku menyesal, seharusnya
aku segera sadar saat melihat sepatu buntut kakakku tak lagi layak untuk
untuk dipakai. Harusnya aku memahami, tidak mudah juga bagi bapak
memenuhi semua keinginan anaknya dalam waktu yang bersamaan. Karena
sudah pasti bapak harus bersusah payah dan memeras pikiran bagaimana
membahagian semua anak-anaknya. Maafkan aku bapak, harusnya aku sadar,
kala itu bapak mengenalkan kepadaku tentang arti kata keadilan yang
sebenarnya.
Bapak,
Masihkah bapak ingat, di setiap
bapak pulang dari acara, saat oleh-oleh kue yang bapak bawa tidak sama
dengan jumlah kami anak-anak bapak. Dengan cepat bapak membagi makanan
itu menjadi 5 bagian sama persis sebelum kami berebut mendapatkannya.
Aku kadang merindukan saat-saat seperti itu. Saat keributan kecil
terjadi diantara kami, namun semua itu tak menghalangi keakraban kami.
Dan sampai saat ini tak jarang, kakak-kakak menjadikan kisah kami
sebagai dongeng sebelum tidur bagi anak-anak mereka. Kembali bapak
mengajarkan kepada kami, indahnya berbagi.
Bapak,
Sepertinya tak pernah usai, ilmu yang kau ajarkan kepada kami.
Kesabaran, kesederhanaan, ketegaran, kasih sayang, cinta kasih. Pun
ketika putih telah menutup di hampir seluruh rambut, saat gigi satu per
satu mulai tanggal, saat mata mulai samar, saat langkah mulai tertatih.
Namun tidak ada yang bapak lakukan, selain syukur atas nikmat iman,
usia, dan kesehatan yang telah Allah berikan. Kau katakan, tak perlu
cemas dengan kerutan yang menghias wajah, tak perlu malu dengan uban
yang terlihat, tak harus hanya diam karena tak lagi tegap melangkah.
Justru kita harus bersyukur dengan isyarat yang telah Allah berikan,
bahwa tidak selamanya kita muda, bahwa tak selamanya kita ada di dunia,
karena sesungguhnya kita hanya milik Allah semata.
Bapak,
Semakin banyak kenangan yang mengingatkanku akan bapak yang berada jauh
di sebarang sana. Bapak, aku ingin pulang. Andai detik ini aku mampu
terbang untuk bersujud di hadapmu, akan ku sampaikan rasa cinta, rindu,
maaf, dan juga penyesalanku, karena tak jarang ku abaikan apa yang kau
katakan, karena belum mampu ku menjadi seperti apa yang bapak inginkan,
karena acapkali sikapku ada yang menyakitkan hati bapak, karena tak
pernah mampu ku membalas segala kebaikan bapak dan tak mampu juga
kuhitung berapa besar kesalahanku kepada bapak.
Ya Rabb, lewat
lirih bisikku, ku hanya ingin bapak tau, betapa aku masih mengharapkan
hadirnya mewarnai hari-hariku, betapa aku masih merindukan kasih dan
sayangnya, betapa aku masih membutuhkan nasehatnya untuk membimbingku di
setiap langkah.
Ya Rabb, semoga belum terlambat untuk
kusampaikan “Ku mohon Engkau jaga Bapak di sisa usia yang masih Kau
berikan kepadanya, semoga belum terlambat untukku mengatakan, bahwa aku
bersyukur, bapak masih ada di hidupku, untuk selalu memberikan sinar dan
hangatnya kepada kami. Karena aku tahu, di luar sana banyak
saudara-saudaraku yang merindukan hadirnya seorang bapak. Ya Rabb,
berikan aku kesempatan untuk bisa berbuat baik kepada orang tuaku. Agar
tak ada lagi cerita penyesalan anak, setelah mendapati ternyata Allah
lebih mencintai orang tuanya untuk kembali berada di sisi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar