Sabtu, 16 Juni 2012

* Surat Kepada Bapak

Langit Denpasar merekah pagi ini, kilau matahari menerobos menyeruak ruang ruang kosong di setiap sudut kamarku, sinarnya hadir menghangatkan. Entah mengapa, seraut wajah bapak, sekelebat hadir…. mengingatkan akan bapak yang kuyakin tidak pernah meninggalkanku disetiap detak nadi kehidupan, meski sekarang aku berada jauh dari Bapak. Bapak, bagaimana kabar Bapak hari ini? Apa yang sedang bapak lakukan saat ini? Masihkah membaca Al’quran, ditemani kacamata karena pandangan mulai samar? Atau telah mulai menyiram bunga bunga di halaman kecil rumah kita? Atau sudah disibukkan dengan kelucuan cucu-cucu bapak, yang tidak jarang menguras tenaga dan kesabaran bapak dengan tingkah polah mereka? Namun satu hal yang pasti, aku selalu berharap semoga ALLAH SWT senantiasa menjaga bapak.

Bapak,

Gurat senyum tulusmu terbayang di wajahku. Ah, bagaimana mungkin aku melupakan raut wajah itu. Raut wajah yang senantiasa tersenyum, meski berjuta gundah belum juga lepas dari hidupnya, meski beban setinggi gunung harus dipanggul di pundaknya. Ketegaran yang tak kenal putus asa, demi istri dan 5 orang anak perempuan yang diamanahkan Allah kepadanya. Bapak, terima kasih telah mengajariku untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan senantiasa bersyukur atas keadaan apapun yang Allah berikan kepada kita saat ini.

Bapak,

Tak akan ku lupa senyum itu, iya senyum itu. Senyum bahagia saat bapak berhasil menyulap tempat tidur kami menjadi panggung kecil untuk bapak mementaskan berbagai macam cerita rakyat. Namun yang paling aku ingat adalah saat bapak mengisahkan berbagai kisah pewayangan penuh hikmah. Tak jarang, kami anak-anak bapak tertawa riuh rendah saat tiba-tiba suara dan gaya bicara bapak berubah karena menjelma menjadi berbagai tokoh pewayangan. Begitu indah kenangan masa kecil itu. Bapak, terima kasih karena melalui semua ini membuat kami memahami, indahnya arti kebersamaan.

Bapak,

Pun masih jelas dalam ingatanku, saat guratan sedih menghalangi indah raut wajahmu, saat aku menangis dan mengatakan bahwa bapak pilih kasih. Ketika bapak membelikan sepatu baru buat mbak yang mendapat tugas untuk mengibarkan bendera saat upacara hari kemerdekaan. Aku marah kepada bapak, aku menangis, bungkam tak mau menyapa bapak, aku tak peduli ketika bapak menjelaskan alasannya. Belakangan aku menyesal, seharusnya aku segera sadar saat melihat sepatu buntut kakakku tak lagi layak untuk untuk dipakai. Harusnya aku memahami, tidak mudah juga bagi bapak memenuhi semua keinginan anaknya dalam waktu yang bersamaan. Karena sudah pasti bapak harus bersusah payah dan memeras pikiran bagaimana membahagian semua anak-anaknya. Maafkan aku bapak, harusnya aku sadar, kala itu bapak mengenalkan kepadaku tentang arti kata keadilan yang sebenarnya.

Bapak,

Masihkah bapak ingat, di setiap bapak pulang dari acara, saat oleh-oleh kue yang bapak bawa tidak sama dengan jumlah kami anak-anak bapak. Dengan cepat bapak membagi makanan itu menjadi 5 bagian sama persis sebelum kami berebut mendapatkannya. Aku kadang merindukan saat-saat seperti itu. Saat keributan kecil terjadi diantara kami, namun semua itu tak menghalangi keakraban kami. Dan sampai saat ini tak jarang, kakak-kakak menjadikan kisah kami sebagai dongeng sebelum tidur bagi anak-anak mereka. Kembali bapak mengajarkan kepada kami, indahnya berbagi.

Bapak,

Sepertinya tak pernah usai, ilmu yang kau ajarkan kepada kami. Kesabaran, kesederhanaan, ketegaran, kasih sayang, cinta kasih. Pun ketika putih telah menutup di hampir seluruh rambut, saat gigi satu per satu mulai tanggal, saat mata mulai samar, saat langkah mulai tertatih. Namun tidak ada yang bapak lakukan, selain syukur atas nikmat iman, usia, dan kesehatan yang telah Allah berikan. Kau katakan, tak perlu cemas dengan kerutan yang menghias wajah, tak perlu malu dengan uban yang terlihat, tak harus hanya diam karena tak lagi tegap melangkah. Justru kita harus bersyukur dengan isyarat yang telah Allah berikan, bahwa tidak selamanya kita muda, bahwa tak selamanya kita ada di dunia, karena sesungguhnya kita hanya milik Allah semata.

Bapak,

Semakin banyak kenangan yang mengingatkanku akan bapak yang berada jauh di sebarang sana. Bapak, aku ingin pulang. Andai detik ini aku mampu terbang untuk bersujud di hadapmu, akan ku sampaikan rasa cinta, rindu, maaf, dan juga penyesalanku, karena tak jarang ku abaikan apa yang kau katakan, karena belum mampu ku menjadi seperti apa yang bapak inginkan, karena acapkali sikapku ada yang menyakitkan hati bapak, karena tak pernah mampu ku membalas segala kebaikan bapak dan tak mampu juga kuhitung berapa besar kesalahanku kepada bapak.

Ya Rabb, lewat lirih bisikku, ku hanya ingin bapak tau, betapa aku masih mengharapkan hadirnya mewarnai hari-hariku, betapa aku masih merindukan kasih dan sayangnya, betapa aku masih membutuhkan nasehatnya untuk membimbingku di setiap langkah.

Ya Rabb, semoga belum terlambat untuk kusampaikan “Ku mohon Engkau jaga Bapak di sisa usia yang masih Kau berikan kepadanya, semoga belum terlambat untukku mengatakan, bahwa aku bersyukur, bapak masih ada di hidupku, untuk selalu memberikan sinar dan hangatnya kepada kami. Karena aku tahu, di luar sana banyak saudara-saudaraku yang merindukan hadirnya seorang bapak. Ya Rabb, berikan aku kesempatan untuk bisa berbuat baik kepada orang tuaku. Agar tak ada lagi cerita penyesalan anak, setelah mendapati ternyata Allah lebih mencintai orang tuanya untuk kembali berada di sisi-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar