Sabtu, 22 September 2012

Matematika Al-Qur'an

Tariq Al Swaidan menemukan beberapa ayat di dalam Al Qur'an menyebutkan sesuatu yang sepadan dengan sesuatu yang lain, misal laki-laki sama dengan perempuan. Walaupun masuk akal secara gramatikal, faktanya kata LAKI-LAKI disebutkan 24 KALI dan kata PEREMPUAN/WANITA juga disebutkan 24 KALI, sehingga persamaannya tidak hanya bentuk gramatikal tapi juga bent
uk matematikalnya (24=24).

Kata DUNIA 115 Kali = kata AKHIRAT 115 Kali
Malaikat 88 = Setan 88
Hidup 145 = Mati 145
Laki-laki 24 = Perempuan/wanita 24
Manfaat 50 = Korup 50
Musibah 75 = Bersyukur 75 …..Subhanallah !

Dan yang juga mengagumkan adalah berapa kali kata-kata berikut disebutkan:
Shalat ada 5,
Bulan ada 12,
Hari ada 365 …...Allahu Akbar !

Manusia/umat 50 = Penyampai (rasul) 50
Iblis 11 = Menghindari (perbuatan) iblis 11
Shodaqah 73 = Kepuasan/pahala 73
Orang yg tersesat 17 = Orang mati 17
Muslimin 41 = Jihad 41
Emas 8 = Kemudahan hidup 8
Tipu muslihat /Sihir 60 = Fitnah 60
Zakat 32 = Barokah 32
Akal 49 = Nur/cahaya 49
Bicara di depan publik 18 = Mempublikasikan 18
Ketekunan 114 = Sabar 114
Muhammad 4 = Syariah 4
…..dan masih banyak lagi.

Laut 32 dan Daratan 13
Kita hitung secara matematika:
Laut + Daratan = 32 + 13= 45
Laut = 32 / 45 X 100 = 71.11%
Daratan = 13 / 45 X 100 = 28.89%
Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa permukaan bumi terdiri dari,
71.11% air dan 28.89% daratan ……Ruaarr biazzaa !

Apakah hal ini sebuah kebetulan?
Pertanyaannya adalah Siapa yang mengajari Nabi Muhammad SAW tentang semua ini?
Tentu saja ALLAH SWT yang mengajarkan hal ini pada beliau.

Subhanallah, Maha Suci Engkau dengan segala Firman-Mu.

Minggu, 16 September 2012

Ayo Dibaca

Cepat baca, Info terbaru...
Kami masih ingat keadaan di awal sebelum liqo’. Di mana di masa itu, kami hanya memikirkan nasib masa depan kami. Jarang- dan bahkan tidak pernah terlintas sedikit pun kami memikirkan nasib saudara-saudara kami. Dalam tulisan di buku impian kami, hanya tergores impian-impian memajukan nasib pribadi dan keluarga terdekat dan orientasinya lebih besar tentang kesuksesan dunia (jadi pengusaha sukses, selama kuliah dapat IPK tinggi dan tamat cum laude, orang terkaya di wilayah/kampung, s2 dan s3 di luar negri… sekitar-sekitar itu). Apakah engkau juga merasakan apa yang kami rasakan?
Namun, ketika dalam dekapan liqo’? Bagaimana kondisi hati dan pikiran kami? Apakah kami tetap memikirkan pribadi saja? Tentu, jawabannya tidak! Kami telah berubah. Kami memikirkan keadaan umat dan saudara-saudara kami. Orientasi kami tidak hanya lingkungan pribadi dan keluarga, namun juga lingkungan masyarakat, wilayah, negara bahkan memikirkan umat Islam se-dunia. Subhanallah. Cita-cita tertinggi kami tidak hanya berkisar urusan duniawi, sukses kefanaan saja, namun adalah jihad fisabilillah dan sukses di Akhirat. Aamiin.
Sebelum kami bergabung di liqo’, terlintas di pikiran bahwa menghafal 30 juz Al-Quran yang terdiri dari 6.000-an ayat SANGAT SULIT!!! Sehingga tak ada semangat untuk berusaha menghafalnya. Bagaimana denganmu? Apakah sama dengan yang kami rasakan? Nah, bagaimana keadaan kami setelah liqo’? Apakah masih menemukan kesulitan? Jawabannya seringkali kami dapatkan begini: menghafalnya tidak sulit, namun mempertahankan hafalan Al-Quran butuh keistiqamahan… yup begitulah! Di liqo’ kami di ajarkan tentang arti keistiqamahan. Jikala iman sedang menurun, maka terlihat kawan-kawan selingkaran yang sedang semangat imannya, maka kami ikutan naik dan bersemangat.
Pertanyaan kami: apakah anti/antunna merasakan itu semua?

Ketika liqo’ menjadi prioritas utama dari setiap aktivitas, berarti seseorang telah menyadari pentingnya liqo’. Pemahaman dan pentingnya liqo’ pun akan terus berkembang seiring perjalanannya dalam tarbiyah. Tidak menutup kemungkinan setiap orang mengalami degradasi dalam liqo’nya. Ada yang pindah kelompok, ganti murabbi, pindah wilayah atau semacamnya. Namun, pada akhirnya pengaruh liqo’ dalam kehidupan seseorang bergantung pada pemahaman dan caranya menghidupkan liqo’.
Setiap orang akan membandingkan liqo’ saat bersama sejumlah A dengan sejumlah B. Yang perlu diingat adalah bahwa perbandingan itu haruslah menjadi evaluasi cara menghidupkan liqo’. Bukan menjadi kritikan yang malah menurunkan semangat diri untuk hadir dalam liqo’. Seringkali terkonsep bahwa menghidupkan liqo’ adalah tanggung jawab murabbi. Padahal binaan atau mutarabbi pun turut andil dalam menghidupkan liqo’. Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh setiap orang yang menyadari pentingnya liqo’.
Jika seseorang mengharapkan dengan liqo’nya dapat meningkatkan kualitas ruhnya maka hal yang pertama harus dilakukan adalah mengisi amunisi ruhiyah sebelum liqo’. Karena akan sulit bagi seseorang menerima kekuatan ruhiyah yang luar biasa jika ruhiyah nya kosong. Bayangkan saja ruh yang sedang galau karena kurang tilawah, tidak ada qiyamul lail, tidak ada saum, tidak ada amalan pribadi, pikiran semrawut karena banyak beban yang harus ditanggung, bagaimana mungkin keadaan seperti itu bisa terkondisikan untuk menangkap ruhiyah yang luar biasa.
Pada intinya pertanyaan mengenai sudahkah kita liqo’, bukan saja mengenai kehadiran kita dalam liqo’ tetapi juga terkait bagaimana menghidupkan liqo’, baik di dalam maupun di luar liqo’. Tidak perlu mengandalkan murabbi untuk menghidupkan liqo’ karena kita pun bisa turut berperan dalam menghidupkannya.
Murabbi adalah seseorang yang patut kita hormati dan kita banggakan, tetapi tidak dengan mengkultuskannya. Jika hanya karena ketidakcocokan dengan murabbi atau teman seliqo’nya seseorang menjadi enggan atau tidak menghadiri liqo’ maka harus dipertanyakan lagi pemahamannya tentang tarbiyah. Wajar jika seseorang yang masih mentoring melakukan hal seperti ini, karena memang pemahamannya masih belum pada kapasitasnya.
Bila ada hal yang tidak disukai atau ketidakcocokan dari murabbi atau teman liqo’ maka hal ini merupakan bagian dari ujian. Ujian apakah bisa bertahan dan tetap berjuang di jalan dakwah ini atau malah mundur ke belakang dari barisan. Dan hal yang perlu dievaluasi dari ketidakcocokan itu adalah apakah disebabkan karena sensitivitas diri atau pandangan subjektif terhadap seseorang.
Jangan sampai ketidakcocokan itu menghalangi kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Bukankah dari liqo’ kita bisa merasakan nikmat-Nya dengan menjalin ukhuwah. Bukankah dengan liqo’ kapasitas ilmu kita semakin bertambah. Bukankah dengan liqo’ ada penjagaan diri untuk meminimalisir kekhilafan sebagai manusia. Bukankah dengan liqo’ kita bisa merasakan nikmatnya perjuangan dakwah meski tidak seberat dan sebesar perjuangan Rasulullah. Bukankah dengan liqo’ kita bisa menempa diri untuk mempersiapkan kehidupan. Bukankah dengan liqo’ kita bisa menyusun kehidupan akhirat yang semoga bisa lebih indah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.