Kamis, 10 Mei 2012

Belajar Keistiqomahan dari Seorang Bapak Tua Penjaja Roti “Bapak dengan batik dan koko yang lusuh”

diambil dari kisah nyata seorang sahabat

Hampir 10 bulan sudah aku tinggal di kost-kostan di daerah Matraman ini. Alhamdulillah, kost2 itu terletak di posisi strategis; dekat dengan jalan raya, banyak warung nasi murah, keamanan yg bagus, dan yang paling membuat ku harus bersyukur juga adalah lokasi kost an ku yang berada tepat di depan sebuah mesjid. Namun, ada beberapa hal juga yang membuat ku smakin bersyukur setelah berkenalan dgn beberapa orang jamaah Mesjid tersebut
            Jamaah pertama, sebut saja panggilannya Bpk Asep. Bliau berasal dari sbuah daerah di Jawa Barat. Terus terang kekagumanku kepada bpk yang sangat sederhana ini sungguh luar biasa. 10 bulan kusini, hampir kupastikan bahwa setiap ku hadir di mesjid tersebut, bpk asep juga ikut dalam sholat berjamaah di mesjid itu. Tak jarang aku harus akui, jika bpk yang sudah berumur itu sangat sering untuk hadir lebih awal dibandingkan diriku. Setiap kuedarkan pandangan ini, aku akan selalu menemui bpk ini dgn pakaian khasnya, sebuah batik dan sebuah koko yang sudah sedikit lusuh. 2 (dua) jenis pakaian tersebut yang seringkali ia gunakan dalam rangka menghadapNya dalam sholat berjamaah. Dan sepanjang ingatanku pun, tidak ada pakaian (baju) lain yg ia kenakan, selain pakaian2 tersebut.
            Perkiraan saya, Usia Bpk Asep tidak kurang dari 70 tahun. Badannya kecil dan sedikit kurus. Namun hebatnya, sepanjang pengetahuanku, bliau tidak pernah sakit yang menghalanginya utk hadir di Mesjid. Pernah suatu waktu, selama beberapa hari, Pa Asep tidak terlihat muncul di tengah2 jamaah yang ada. Kalau saya ga salah, ada seminggu lebih beliau tidak hadir berjamaah. Hal ini membuatku penasaran dan bertanya2 di dalam hati,”Ada apa gerangan dengan ‘tokoh spritualku’ ini?”  Aku hanya bisa mengira-ngira dalam hati,”Mungkin saja beliau dalam kondisi sakit”.
            Entah kenapa seminggu tanpa kehadiran Pa Asep, ku merasa sangat kehilangan sosok yang secara tidak sadar telah mempengaruhi jiwa dan fikiranku. Lapak dagangan yang biasa ia buka pun terlihat tutup. Kekagumanku kepadanya membuat ku sangat merindukan pertemuan dengannya atau minimal bisa melihat batik dan koko yang ia kenakan. Itu saja cukup untuk memberikan motivasi kepada diriku…Ya, hanya dengan melihat batik dan kokonya hati ini bisa memotivasi diriku untuk bisa meniru keistiqomahannya..ccckkkkk. Berlebihan gak ya? Menurutku bukanlah sesuatu yang berlebihan. Aku hanya mencoba belajar hidup dan kehidupan dari keistiqomahan dan kesederhanaan dari sosok Bpk Asep. Gak lebih dari itu.
            Dan satu minggu pun berlalu tanpa kehadiran Pak Asep. Sampai ketika ku sholat Magrib, Pak Asep terlihat berdiri bersama jamaah lain pada barisan shaf pertama. Tentu saja dgn ciri khasnya, dgn memakai batik lusuh. Dan ternyata setelah kutanyakan, ternyata  bliau pulang ke kampungnya di Jabar (kl ga salah ke sukabumi) untuk bertemu dengan anak istrinya
            Ya, memang benar. Kerasnya kehidupan membuat Bpk Asep yang sudah renta tersebut masih harus merantau demi menyambung kehidupan keluarganya. Sehari-hari beliau berdagang roti keliling dan menggelar lapak kecil2an, di gang sempit menuju kost2 an ku. Selepas Subuh, bliau sudah bersiap2 mengayuh sepedanya utk menjajakan roti keliling pemukiman warga. Selepas itu, kira2 pukul 10 pagi, ia telah kembali ke kost-an nya, dan mengeluarkan roti-roti tersebut untuk digelar di lapaknya.
Dengan penuh keyakinan, ia selalu menawarkan kepada setiap orang yang lewat, dgn harapan ada yang mau membeli dagangannya tersebut. Dan pekerjaan tersebut ia lakoni setiap harinya, kecuali hari hujan lebat dimana kondisinya tidak memungkinkan bliau untuk mengayuh sepedanya atau menggelar lapaknya (lapaknya juga bocor, dan tidak mampu menahan hujan jika hujannya lebat). Pernah disuatu pagi disaat hari belum terlalu terang, ketika kududuk di teras kost-an (lantai 2), pa asep terlihat lewat mengayuh sepedanya, walau cuaca pada waktu itu terlihat kurang bersahabat (gerimis yang cukup lebat)…Luar biasa perjuangan hidupnya
Namun di tengah perjuangan hidupnya tersebut, tidaklah melupakannya untuk mensyukuri setiap nikmat yang tlah ia terima. Penjaja roti yang kukenal itu bukanlah seorang penjaja kue biasa, tapi dimataku ia merupakan penjaja roti yang luar biasa. Bliau penjaja roti yang tidak pernah meninggalkan sholatnya, dan itupun dilakukan secara berjamaah. Lapak roti yang ia bukapun senantiasa ia tinggalkan begitu saja, dan bergegas pergi menuju mesjid di depan rumahku. Hebatnya juga, bliau juga sangat menjaga kebersihan pakaian lusuhnya tersebut untuk menghadapNya. Biasanya selepas sholat berjamaah, kuperhatikan ia akan mengganti bajunya tersebut dengan baju biasa, dan setelah datang lagi panggilan azan berikutnya, ia kembali mengganti pakaiannya. Ya sekali lagi, seperti biasa, kalo ga baju batik lusuh atau koko yang juga lusuh….cckkkkkkk
Ini juga yang membuatku selalu ingin membeli dagangan rotinya, walau sebenarnya kadang2 ku tidak terlalu membutuhkannya. Namun, Setiap kali kumelewati lapaknya, dan setiap ia menawarkan rotinya, entah mengapa hatiku slalu tergerak untuk mencari-cari alasan untuk bertransaksi dengannya. Dan ketokohannya juga yang membuatku kadang2 menyerahkan kembali uang kembalian pembelian rotiku kepadanya.”Makasih..Makasih nak……”, ungkapmu penuh getar sembari sedikit membungkuk ketika suatu ketika kuberikan sedikit uang kembalian buatnya. Itupun tidaklah banyak, hanya Rp 2500,-…Nilai uang yang tidak seberapa dibandingkan dgn yang dikeluarkan banyak orang kaum menengah Indonesia saat ini. Jadi inget konser Super Junior, kaum menengah bangsaku, rela berdesak2an dan ngeluarin uang utk pembelian tiket Rp 500.000 – Rp 2.000.000,. Padahal katanya sih Cuma LIPSING doang, bukan nyanyi beneranJ. Atau rela antri2 berpuluh2 jam untuk mendapatkan sebuah keluaran terbaru jenis HP tertentu, Hp yang juga mengambil kekayaan bangsaku melalui pulsa, tanpa mau mengikuti regulasi yang ada…HmmmmmmmJ
Kadangkala yang jadi pertanyaan bagi kita semua adalah, bagaimana jika kita dihadapkan dengan kondisi Bpk Asep yang dipenuhi dgn kegetiran hidup? Apakah masih bisa dan kuat untuk tsiqoh ‘percaya’ kepadaNya. Atau jangan2 kita sudah tak perduli dengan ibadah dan keyakinan yang kita anut karna mengganggap Allah SWT tidaklah adil dalam distribusi rejeki kepada hambanya??? Atau karna kegetiran hidup dan kesibukan dunia terkadang juga menjadi alasan dan  membuat kita lupa untuk beribadah kepadaNya..Wallahu alam...
Yang jelas, Bpk Asep dengan keterbatasan dan kerasnya hidup yang ia jalani setiap hari, ternyata tidak membuat ia putus asa untuk selalu menengadahkan tangannya setiap sholat dan bermunajat kepadaNya. Bagi bliau, jelas sangat sulit untuk berbicara tabungan atau cadangan uang untuk makan di keesokan harinya. Namun, anehnya, banyak yang mempunyai kehidupan berbanding terbalik dgn kehidupan Asep, justru malah enggan beribadah kepadaNya. Bagi orang-orang yang diberikan kekayaan yang cukup, jabatan yang tinggi, gaji dan tunjangan yang diterima setiap bulannya, usaha yang mapan, ladang dan sawah yang luas, dll, atau siapaun dan apaun kondisi kehidupan kita, seharusnya bisa belajar syukur dari bapak tua yang sederhana penjaja roti ini.
Skali lagi, pak Asep salah satu tokoh spritualku di universitas kehidupan ini. Bliau bukan penjaja roti biasa, tapi penjaja roti yang luar biasa yang tanpa ia sadari mungkin telah banyak menjadi guru bagi banyak orang di sekitarnya..Banyak hal yang harus kucontoh dan kutiru tentang aplikasi materi ruhiyahnya; Materi kesederhanaan dan materi keistiqomahan ... to be continued:) 

Mudah2 an juga tambahan batik dan koko baginya bisa terwujud dalam waktu dekat
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar