diambil dari kisah nyata seorang sahabat
Hampir 10 bulan sudah aku tinggal di kost-kostan
di daerah Matraman ini. Alhamdulillah, kost2 itu terletak di posisi
strategis; dekat dengan jalan raya, banyak warung nasi murah, keamanan
yg bagus, dan yang paling membuat ku harus bersyukur juga adalah lokasi
kost an ku yang berada tepat di depan sebuah mesjid. Namun, ada beberapa
hal juga yang membuat ku smakin bersyukur setelah berkenalan dgn
beberapa orang jamaah Mesjid tersebut
Jamaah
pertama, sebut saja panggilannya Bpk Asep. Bliau berasal dari sbuah
daerah di Jawa Barat. Terus terang kekagumanku kepada bpk yang sangat
sederhana ini sungguh luar biasa. 10 bulan kusini, hampir kupastikan
bahwa setiap ku hadir di mesjid tersebut, bpk asep juga ikut dalam
sholat berjamaah di mesjid itu. Tak jarang aku harus akui, jika bpk yang
sudah berumur itu sangat sering untuk hadir lebih awal dibandingkan
diriku. Setiap kuedarkan pandangan ini, aku akan selalu menemui bpk ini
dgn pakaian khasnya, sebuah batik dan sebuah koko yang sudah sedikit
lusuh. 2 (dua) jenis pakaian tersebut yang seringkali ia gunakan dalam
rangka menghadapNya dalam sholat berjamaah. Dan sepanjang ingatanku pun,
tidak ada pakaian (baju) lain yg ia kenakan, selain pakaian2 tersebut.
Perkiraan
saya, Usia Bpk Asep tidak kurang dari 70 tahun. Badannya kecil dan
sedikit kurus. Namun hebatnya, sepanjang pengetahuanku, bliau tidak
pernah sakit yang menghalanginya utk hadir di Mesjid. Pernah suatu
waktu, selama beberapa hari, Pa Asep tidak terlihat muncul di tengah2
jamaah yang ada. Kalau saya ga salah, ada seminggu lebih beliau tidak
hadir berjamaah. Hal ini membuatku penasaran dan bertanya2 di dalam
hati,”Ada apa gerangan dengan ‘tokoh spritualku’ ini?” Aku hanya bisa mengira-ngira dalam hati,”Mungkin saja beliau dalam kondisi sakit”.
Entah
kenapa seminggu tanpa kehadiran Pa Asep, ku merasa sangat kehilangan
sosok yang secara tidak sadar telah mempengaruhi jiwa dan fikiranku.
Lapak dagangan yang biasa ia buka pun terlihat tutup. Kekagumanku
kepadanya membuat ku sangat merindukan pertemuan dengannya atau minimal
bisa melihat batik dan koko yang ia kenakan. Itu saja cukup untuk
memberikan motivasi kepada diriku…Ya, hanya dengan melihat batik dan
kokonya hati ini bisa memotivasi diriku untuk bisa meniru
keistiqomahannya..ccckkkkk. Berlebihan gak ya? Menurutku bukanlah
sesuatu yang berlebihan. Aku hanya mencoba belajar hidup dan kehidupan
dari keistiqomahan dan kesederhanaan dari sosok Bpk Asep. Gak lebih dari
itu.
Dan satu minggu pun
berlalu tanpa kehadiran Pak Asep. Sampai ketika ku sholat Magrib, Pak
Asep terlihat berdiri bersama jamaah lain pada barisan shaf pertama.
Tentu saja dgn ciri khasnya, dgn memakai batik lusuh. Dan ternyata
setelah kutanyakan, ternyata bliau pulang ke kampungnya di Jabar (kl ga
salah ke sukabumi) untuk bertemu dengan anak istrinya
Ya,
memang benar. Kerasnya kehidupan membuat Bpk Asep yang sudah renta
tersebut masih harus merantau demi menyambung kehidupan keluarganya.
Sehari-hari beliau berdagang roti keliling dan menggelar lapak kecil2an,
di gang sempit menuju kost2 an ku. Selepas Subuh, bliau sudah bersiap2
mengayuh sepedanya utk menjajakan roti keliling pemukiman warga. Selepas
itu, kira2 pukul 10 pagi, ia telah kembali ke kost-an nya, dan
mengeluarkan roti-roti tersebut untuk digelar di lapaknya.
Dengan
penuh keyakinan, ia selalu menawarkan kepada setiap orang yang lewat,
dgn harapan ada yang mau membeli dagangannya tersebut. Dan pekerjaan
tersebut ia lakoni setiap harinya, kecuali hari hujan lebat dimana
kondisinya tidak memungkinkan bliau untuk mengayuh sepedanya atau
menggelar lapaknya (lapaknya juga bocor, dan tidak mampu menahan hujan
jika hujannya lebat). Pernah disuatu pagi disaat hari belum terlalu
terang, ketika kududuk di teras kost-an (lantai 2), pa asep terlihat
lewat mengayuh sepedanya, walau cuaca pada waktu itu terlihat kurang
bersahabat (gerimis yang cukup lebat)…Luar biasa perjuangan hidupnya
Namun
di tengah perjuangan hidupnya tersebut, tidaklah melupakannya untuk
mensyukuri setiap nikmat yang tlah ia terima. Penjaja roti yang kukenal
itu bukanlah seorang penjaja kue biasa, tapi dimataku ia merupakan
penjaja roti yang luar biasa. Bliau penjaja roti yang tidak pernah
meninggalkan sholatnya, dan itupun dilakukan secara berjamaah. Lapak
roti yang ia bukapun senantiasa ia tinggalkan begitu saja, dan bergegas
pergi menuju mesjid di depan rumahku. Hebatnya juga, bliau juga sangat
menjaga kebersihan pakaian lusuhnya tersebut untuk menghadapNya.
Biasanya selepas sholat berjamaah, kuperhatikan ia akan mengganti
bajunya tersebut dengan baju biasa, dan setelah datang lagi panggilan
azan berikutnya, ia kembali mengganti pakaiannya. Ya sekali lagi,
seperti biasa, kalo ga baju batik lusuh atau koko yang juga
lusuh….cckkkkkkk
Ini juga yang membuatku selalu ingin
membeli dagangan rotinya, walau sebenarnya kadang2 ku tidak terlalu
membutuhkannya. Namun, Setiap kali kumelewati lapaknya, dan setiap ia
menawarkan rotinya, entah mengapa hatiku slalu tergerak untuk
mencari-cari alasan untuk bertransaksi dengannya. Dan ketokohannya juga
yang membuatku kadang2 menyerahkan kembali uang kembalian pembelian
rotiku kepadanya.”Makasih..Makasih nak……”, ungkapmu penuh getar sembari
sedikit membungkuk ketika suatu ketika kuberikan sedikit uang kembalian
buatnya. Itupun tidaklah banyak, hanya Rp 2500,-…Nilai uang yang tidak
seberapa dibandingkan dgn yang dikeluarkan banyak orang kaum menengah
Indonesia saat ini. Jadi inget konser Super Junior, kaum menengah
bangsaku, rela berdesak2an dan ngeluarin uang utk pembelian tiket Rp
500.000 – Rp 2.000.000,. Padahal katanya sih Cuma LIPSING doang, bukan
nyanyi beneranJ. Atau rela antri2
berpuluh2 jam untuk mendapatkan sebuah keluaran terbaru jenis HP
tertentu, Hp yang juga mengambil kekayaan bangsaku melalui pulsa, tanpa
mau mengikuti regulasi yang ada…HmmmmmmmJ
Kadangkala
yang jadi pertanyaan bagi kita semua adalah, bagaimana jika kita
dihadapkan dengan kondisi Bpk Asep yang dipenuhi dgn kegetiran hidup?
Apakah masih bisa dan kuat untuk tsiqoh ‘percaya’ kepadaNya. Atau
jangan2 kita sudah tak perduli dengan ibadah dan keyakinan yang kita
anut karna mengganggap Allah SWT tidaklah adil dalam distribusi rejeki
kepada hambanya??? Atau karna kegetiran hidup dan kesibukan dunia
terkadang juga menjadi alasan dan membuat kita lupa untuk beribadah kepadaNya..Wallahu alam...
Yang
jelas, Bpk Asep dengan keterbatasan dan kerasnya hidup yang ia jalani
setiap hari, ternyata tidak membuat ia putus asa untuk selalu
menengadahkan tangannya setiap sholat dan bermunajat kepadaNya. Bagi
bliau, jelas sangat sulit untuk berbicara tabungan atau cadangan uang
untuk makan di keesokan harinya. Namun, anehnya, banyak yang mempunyai
kehidupan berbanding terbalik dgn kehidupan Asep, justru malah enggan
beribadah kepadaNya. Bagi orang-orang yang diberikan kekayaan yang
cukup, jabatan yang tinggi, gaji dan tunjangan yang diterima setiap
bulannya, usaha yang mapan, ladang dan sawah yang luas, dll, atau
siapaun dan apaun kondisi kehidupan kita, seharusnya bisa belajar syukur
dari bapak tua yang sederhana penjaja roti ini.
Skali
lagi, pak Asep salah satu tokoh spritualku di universitas kehidupan
ini. Bliau bukan penjaja roti biasa, tapi penjaja roti yang luar biasa
yang tanpa ia sadari mungkin telah banyak menjadi guru bagi banyak orang
di sekitarnya..Banyak hal yang harus kucontoh dan kutiru tentang
aplikasi materi ruhiyahnya; Materi kesederhanaan dan materi keistiqomahan ... to be continued:)
Mudah2 an juga tambahan batik dan koko baginya bisa terwujud dalam waktu dekat
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar