Cepat baca, Info terbaru...
Kami masih ingat keadaan di awal sebelum liqo’. Di mana di masa itu,
kami hanya memikirkan nasib masa depan kami. Jarang- dan bahkan tidak
pernah terlintas sedikit pun kami memikirkan nasib saudara-saudara kami.
Dalam tulisan di buku impian kami, hanya tergores impian-impian
memajukan nasib pribadi dan keluarga terdekat dan orientasinya lebih
besar tentang kesuksesan dunia (jadi pengusaha sukses, selama kuliah
dapat IPK tinggi dan tamat cum laude, orang terkaya di wilayah/kampung,
s2 dan s3 di luar negri… sekitar-sekitar itu). Apakah engkau juga
merasakan apa yang kami rasakan?
Namun, ketika dalam dekapan liqo’?
Bagaimana kondisi hati dan pikiran kami? Apakah kami tetap memikirkan
pribadi saja? Tentu, jawabannya tidak! Kami telah berubah. Kami
memikirkan keadaan umat dan saudara-saudara kami. Orientasi kami tidak
hanya lingkungan pribadi dan keluarga, namun juga lingkungan masyarakat,
wilayah, negara bahkan memikirkan umat Islam se-dunia. Subhanallah.
Cita-cita tertinggi kami tidak hanya berkisar urusan duniawi, sukses
kefanaan saja, namun adalah jihad fisabilillah dan sukses di Akhirat.
Aamiin.
Sebelum kami bergabung di liqo’, terlintas di pikiran bahwa
menghafal 30 juz Al-Quran yang terdiri dari 6.000-an ayat SANGAT
SULIT!!! Sehingga tak ada semangat untuk berusaha menghafalnya.
Bagaimana denganmu? Apakah sama dengan yang kami rasakan? Nah, bagaimana
keadaan kami setelah liqo’? Apakah masih menemukan kesulitan?
Jawabannya seringkali kami dapatkan begini: menghafalnya tidak sulit,
namun mempertahankan hafalan Al-Quran butuh keistiqamahan… yup
begitulah! Di liqo’ kami di ajarkan tentang arti keistiqamahan. Jikala
iman sedang menurun, maka terlihat kawan-kawan selingkaran yang sedang
semangat imannya, maka kami ikutan naik dan bersemangat.
Pertanyaan kami: apakah anti/antunna merasakan itu semua?
Ketika liqo’ menjadi prioritas utama dari setiap aktivitas, berarti
seseorang telah menyadari pentingnya liqo’. Pemahaman dan pentingnya
liqo’ pun akan terus berkembang seiring perjalanannya dalam tarbiyah.
Tidak menutup kemungkinan setiap orang mengalami degradasi dalam
liqo’nya. Ada yang pindah kelompok, ganti murabbi, pindah wilayah atau
semacamnya. Namun, pada akhirnya pengaruh liqo’ dalam kehidupan
seseorang bergantung pada pemahaman dan caranya menghidupkan liqo’.
Setiap orang akan membandingkan liqo’ saat bersama sejumlah A dengan
sejumlah B. Yang perlu diingat adalah bahwa perbandingan itu haruslah
menjadi evaluasi cara menghidupkan liqo’. Bukan menjadi kritikan yang
malah menurunkan semangat diri untuk hadir dalam liqo’. Seringkali
terkonsep bahwa menghidupkan liqo’ adalah tanggung jawab murabbi.
Padahal binaan atau mutarabbi pun turut andil dalam menghidupkan liqo’.
Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh setiap orang yang menyadari
pentingnya liqo’.
Jika seseorang mengharapkan dengan liqo’nya dapat
meningkatkan kualitas ruhnya maka hal yang pertama harus dilakukan
adalah mengisi amunisi ruhiyah sebelum liqo’. Karena akan sulit bagi
seseorang menerima kekuatan ruhiyah yang luar biasa jika ruhiyah nya
kosong. Bayangkan saja ruh yang sedang galau karena kurang tilawah,
tidak ada qiyamul lail, tidak ada saum, tidak ada amalan pribadi,
pikiran semrawut karena banyak beban yang harus ditanggung, bagaimana
mungkin keadaan seperti itu bisa terkondisikan untuk menangkap ruhiyah
yang luar biasa.
Pada intinya pertanyaan mengenai sudahkah kita
liqo’, bukan saja mengenai kehadiran kita dalam liqo’ tetapi juga
terkait bagaimana menghidupkan liqo’, baik di dalam maupun di luar
liqo’. Tidak perlu mengandalkan murabbi untuk menghidupkan liqo’ karena
kita pun bisa turut berperan dalam menghidupkannya.
Murabbi adalah
seseorang yang patut kita hormati dan kita banggakan, tetapi tidak
dengan mengkultuskannya. Jika hanya karena ketidakcocokan dengan murabbi
atau teman seliqo’nya seseorang menjadi enggan atau tidak menghadiri
liqo’ maka harus dipertanyakan lagi pemahamannya tentang tarbiyah. Wajar
jika seseorang yang masih mentoring melakukan hal seperti ini, karena
memang pemahamannya masih belum pada kapasitasnya.
Bila ada hal yang
tidak disukai atau ketidakcocokan dari murabbi atau teman liqo’ maka
hal ini merupakan bagian dari ujian. Ujian apakah bisa bertahan dan
tetap berjuang di jalan dakwah ini atau malah mundur ke belakang dari
barisan. Dan hal yang perlu dievaluasi dari ketidakcocokan itu adalah
apakah disebabkan karena sensitivitas diri atau pandangan subjektif
terhadap seseorang.
Jangan sampai ketidakcocokan itu menghalangi
kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Bukankah dari liqo’ kita
bisa merasakan nikmat-Nya dengan menjalin ukhuwah. Bukankah dengan liqo’
kapasitas ilmu kita semakin bertambah. Bukankah dengan liqo’ ada
penjagaan diri untuk meminimalisir kekhilafan sebagai manusia. Bukankah
dengan liqo’ kita bisa merasakan nikmatnya perjuangan dakwah meski tidak
seberat dan sebesar perjuangan Rasulullah. Bukankah dengan liqo’ kita
bisa menempa diri untuk mempersiapkan kehidupan. Bukankah dengan liqo’
kita bisa menyusun kehidupan akhirat yang semoga bisa lebih indah. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar